Kamis, 30 Oktober 2014

Tugas 2 (Etika Bsinis)

Etika Bisnis

Perusahaan Yang Melanggar Etika Bisnis


1.        Mobile Ericsson melayangkan gugatan terhadap pembuat ponsel Samsung Electronics. Gugatan ini diajukan karena Samsung dituduh telah melanggar hak paten. “Kami sudah melayangkan gugatan hukum kepada Samsung terkait pelanggaran hak paten di Amerika Serikat, Inggris, Jerman dan Belanda,” kata Ase Lindskog, juru bicara Ericsson. Menurut Lindskog, pihaknya telah melakukan negosiasi besar dengan Samsung terkait pembaharuan lisensi. “Kesepakatan mereka dengan kami telah berakhir sejak 31 Desember tahun lalu,” ujarnya lagi. Masalahnya, Samsung masih memakai paten ponsel yang tidak berlisensi lagi. Ketika dikonfirmasi, juru bicara Samsung di Seoul masih enggan mengomentari masalah ini. Entah iri atau ingin menjatuhkan rival, yang jelas kasus pelanggaran paten dan perlawanan legal lainnya sudah sering bahkan biasa terjadi di sektor teknologi. Bisa jadi karena perusahaan telah menghabiskan banyak dana untuk penelitian dan pengembangan (R&D). Selain Samsung, Ericsson juga pernah menggugat Qualcomm. Tahun lalu Ericsson pernah mengadu ke Uni Eropa karena Qualcomm dituduh telah ‘mencekik’ kompetisi di pasar chip ponsel. Kembali ke gugatan terhadap Samsung. Lindskog mengatakan beberapa paten teknologi yang digugat Ericsson kepada Samsung adalah GSM (Global System for Mobile Communications), GPRS (General Packet Radio Service) dan EDGE (Enhanced Data rates for GSM Evolution). “Ini adalah tindakan yang patut disayangkan, tetapi kami harus melindungi para pemegang saham dan investor kami karena kami sudah menginvestasikan banyak dana di R&D selama bertahun-tahun,” kata Lindskog. Demikian dilansir detikINET dari Reut.

2.        PT. Mitra Insan Utama adalah salah satu perusahaan dari sekian banyak yang menjalankan bisnis (praktek) Outsourcing untuk membantu pekerjaan PLN, akan tetapi pada kenyataannya banyak pekerjaan-pekerjaan inti perusahaan PLN yang juga ditangani oleh karyawan Outsourcing. Hingga detik ini, PT. Mitra Insan Utama menjadi Leader perusahaan penyedia Jasa Outsourcing untuk PT. PLN (Persero) dengan kompetensi-kompetensi yang sangat baik sekali, diakui atau tidak, memang realitanya seperti, pegawai Outsourcing cenderung memiliki nilai negatif di lingkungan internal perusahaan pengguna jasa Outsourcing atau kasarnya menjadi “welcome” bagi perusahaan PLN. Penguasaan kerja fungsional hingga detik ini pun ternyata masih dipegang oleh karyawan-karyawan OS PT. MIU yang terkenal handal dan pekerja keras, meskipun banyak keluhan mengenai permasalahan kesejahteraan tetapi tidak menutup diri untuk tidak melaksanakan kerja sesuai dengan prosedur yang berlaku dilingkungan PT. PLN (Persero). Hal ini masih menjadi pertanyaan-pertanyaan yang cukup misterius, tak banyak pelanggan-pelanggan PLN yang mengetahui bahwa ketika mereka datang dan duduk untuk sekedar mencari informasi, yang mereka temui bukanlah pegawai PLN, akan tetapi pegawai Outsourcing, eksistensi pegawai OS di lingkungan PT. PLN (Persero) selalu dicaci tetapi dibutuhkan oleh PT. PLN (Persero).

3.        Pelanggaran etika bisnis terhadap prinsip pertanggung jawaban Sebuah perusahaan PJTKI di Jogja melakukan rekrutmen untuk tenaga baby sitter. Dalam pengumuman dan perjanjian dinyatakan bahwa perusahaan berjanji akan mengirimkan calon TKI setelah 2 bulan mengikuti training dijanjikan akan dikirim ke negara-negara tujuan. Bahkan perusahaan tersebut menjanjikan bahwa segala biaya yang dikeluarkan pelamar akan dikembalikan jika mereka tidak jadi berangkat ke negara tujuan. B yang terarik dengan tawaran tersebut langsung mendaftar dan mengeluarkan biaya sebanyak Rp 7 juta untuk ongkos administrasi dan pengurusan visa dan paspor. Namun setelah 2 bulan training, B tak kunjung diberangkatkan, bahkan hingga satu tahun tidak ada kejelasan. Ketika dikonfirmasi, perusahaan PJTKI itu selalu berkilah ada penundaan, begitu seterusnya. Dari kasus ini dapat disimpulkan bahwa Perusahaan PJTKI tersebut telah melanggar prinsip pertanggungjawaban dengan mengabaikan hak-hak B sebagai calon TKI yang seharusnya diberangkatkan ke negara tujuan untuk bekerja.

4.        PT. Freeport. Mogoknya hampir seluruh pekerja PT. Freeport tersebut disebabkan perbedaan indeks standar gaji yang diterapkan oleh manajemen pada operasional PT. Freeport di seluruh dunia. Pekerja PT. Freeport di Indonesia diketahui mendapatkan gaji lebih rendah daripada pekerja PT. Freeport di negara lain untuk level jabatan yang sama. Gaji sekarang per jam USD 1,5–USD 3. Padahal, bandingan gaji di negara lain mencapai USD 15–USD 35 per jam. Sejauh ini, perundingannya masih menemui jalan buntu. Manajemen Freeport bersikeras menolak tuntutan pekerja, entah apa dasar pertimbangannya. Biaya CSR kepada sedikit rakyat Papua yang digembor-gemborkan itu pun tidak seberapa karena tidak mencapai 1 persen keuntungan bersih PT. Freeport. Malah rakyat Papua membayar lebih mahal karena harus menanggung akibat berupa kerusakan alam serta punahnya habitat dan vegetasi Papua yang tidak ternilai itu. Biaya reklamasi tersebut tidak akan bisa ditanggung generasi Papua sampai tujuh turunan. Selain bertentangan dengan PP 76/2008 tentang Kewajiban Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan, telah terjadi bukti paradoksal sikap Freeport (Davis, G.F., et.al., 2006). Kestabilan siklus operasional PT. Freeport, diakui atau tidak, adalah barometer penting kestabilan politik koloni Papua. Induksi ekonomi yang terjadi dari berputarnya mesin anak korporasi raksasa Freeport-McMoran tersebut di kawasan Papua memiliki magnitude luar biasa terhadap pergerakan ekonomi kawasan, nasional, bahkan global.


Sumber : http://martha1392.wordpress.com/2013/10/15/perusahaan-yang-melanggar-etika-dalam-berbisnis/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar