Etika Bisnis
Perusahaan Yang Melanggar Etika Bisnis
1.
Mobile Ericsson melayangkan gugatan terhadap pembuat
ponsel Samsung Electronics. Gugatan ini diajukan karena Samsung dituduh telah
melanggar hak paten. “Kami sudah melayangkan gugatan hukum kepada Samsung
terkait pelanggaran hak paten di Amerika Serikat, Inggris, Jerman dan Belanda,”
kata Ase Lindskog, juru bicara Ericsson. Menurut Lindskog, pihaknya telah
melakukan negosiasi besar dengan Samsung terkait pembaharuan lisensi.
“Kesepakatan mereka dengan kami telah berakhir sejak 31 Desember tahun lalu,”
ujarnya lagi. Masalahnya, Samsung masih memakai paten ponsel yang tidak
berlisensi lagi. Ketika dikonfirmasi, juru bicara Samsung di Seoul masih enggan
mengomentari masalah ini. Entah iri atau ingin menjatuhkan rival, yang jelas
kasus pelanggaran paten dan perlawanan legal lainnya sudah sering bahkan biasa
terjadi di sektor teknologi. Bisa jadi karena perusahaan telah menghabiskan
banyak dana untuk penelitian dan pengembangan (R&D). Selain Samsung,
Ericsson juga pernah menggugat Qualcomm. Tahun lalu Ericsson pernah mengadu ke
Uni Eropa karena Qualcomm dituduh telah ‘mencekik’ kompetisi di pasar chip
ponsel. Kembali ke gugatan terhadap Samsung. Lindskog mengatakan beberapa paten
teknologi yang digugat Ericsson kepada Samsung adalah GSM (Global System for
Mobile Communications), GPRS (General Packet Radio Service) dan EDGE (Enhanced
Data rates for GSM Evolution). “Ini adalah tindakan yang patut disayangkan,
tetapi kami harus melindungi para pemegang saham dan investor kami karena kami
sudah menginvestasikan banyak dana di R&D selama bertahun-tahun,” kata
Lindskog. Demikian dilansir detikINET dari Reut.
2.
PT. Mitra Insan Utama adalah salah satu perusahaan dari
sekian banyak yang menjalankan bisnis (praktek) Outsourcing untuk membantu
pekerjaan PLN, akan tetapi pada kenyataannya banyak pekerjaan-pekerjaan inti
perusahaan PLN yang juga ditangani oleh karyawan Outsourcing. Hingga detik ini,
PT. Mitra Insan Utama menjadi Leader perusahaan penyedia Jasa Outsourcing untuk
PT. PLN (Persero) dengan kompetensi-kompetensi yang sangat baik sekali, diakui
atau tidak, memang realitanya seperti, pegawai Outsourcing cenderung memiliki
nilai negatif di lingkungan internal perusahaan pengguna jasa Outsourcing atau
kasarnya menjadi “welcome” bagi perusahaan PLN. Penguasaan kerja fungsional
hingga detik ini pun ternyata masih dipegang oleh karyawan-karyawan OS PT. MIU
yang terkenal handal dan pekerja keras, meskipun banyak keluhan mengenai
permasalahan kesejahteraan tetapi tidak menutup diri untuk tidak melaksanakan
kerja sesuai dengan prosedur yang berlaku dilingkungan PT. PLN (Persero). Hal
ini masih menjadi pertanyaan-pertanyaan yang cukup misterius, tak banyak
pelanggan-pelanggan PLN yang mengetahui bahwa ketika mereka datang dan duduk
untuk sekedar mencari informasi, yang mereka temui bukanlah pegawai PLN, akan
tetapi pegawai Outsourcing, eksistensi pegawai OS di lingkungan PT. PLN
(Persero) selalu dicaci tetapi dibutuhkan oleh PT. PLN (Persero).
3.
Pelanggaran etika bisnis terhadap prinsip pertanggung
jawaban Sebuah perusahaan PJTKI di Jogja melakukan rekrutmen untuk tenaga baby
sitter. Dalam pengumuman dan perjanjian dinyatakan bahwa perusahaan berjanji
akan mengirimkan calon TKI setelah 2 bulan mengikuti training dijanjikan akan
dikirim ke negara-negara tujuan. Bahkan perusahaan tersebut menjanjikan bahwa
segala biaya yang dikeluarkan pelamar akan dikembalikan jika mereka tidak jadi
berangkat ke negara tujuan. B yang terarik dengan tawaran tersebut langsung
mendaftar dan mengeluarkan biaya sebanyak Rp 7 juta untuk ongkos administrasi
dan pengurusan visa dan paspor. Namun setelah 2 bulan training, B tak kunjung
diberangkatkan, bahkan hingga satu tahun tidak ada kejelasan. Ketika
dikonfirmasi, perusahaan PJTKI itu selalu berkilah ada penundaan, begitu
seterusnya. Dari kasus ini dapat disimpulkan bahwa Perusahaan PJTKI tersebut
telah melanggar prinsip pertanggungjawaban dengan mengabaikan hak-hak B sebagai
calon TKI yang seharusnya diberangkatkan ke negara tujuan untuk bekerja.
4.
PT. Freeport. Mogoknya hampir seluruh pekerja PT. Freeport
tersebut disebabkan perbedaan indeks standar gaji yang diterapkan oleh
manajemen pada operasional PT. Freeport di seluruh dunia. Pekerja PT. Freeport
di Indonesia diketahui mendapatkan gaji lebih rendah daripada pekerja PT. Freeport
di negara lain untuk level jabatan yang sama. Gaji sekarang per jam USD 1,5–USD
3. Padahal, bandingan gaji di negara lain mencapai USD 15–USD 35 per jam.
Sejauh ini, perundingannya masih menemui jalan buntu. Manajemen Freeport
bersikeras menolak tuntutan pekerja, entah apa dasar pertimbangannya. Biaya CSR
kepada sedikit rakyat Papua yang digembor-gemborkan itu pun tidak seberapa
karena tidak mencapai 1 persen keuntungan bersih PT. Freeport. Malah rakyat
Papua membayar lebih mahal karena harus menanggung akibat berupa kerusakan alam
serta punahnya habitat dan vegetasi Papua yang tidak ternilai itu. Biaya reklamasi
tersebut tidak akan bisa ditanggung generasi Papua sampai tujuh turunan. Selain
bertentangan dengan PP 76/2008 tentang Kewajiban Rehabilitasi dan Reklamasi
Hutan, telah terjadi bukti paradoksal sikap Freeport (Davis, G.F., et.al., 2006). Kestabilan siklus operasional PT.
Freeport, diakui atau tidak, adalah barometer penting kestabilan politik koloni
Papua. Induksi ekonomi yang terjadi dari berputarnya mesin anak korporasi
raksasa Freeport-McMoran tersebut di kawasan Papua memiliki magnitude luar
biasa terhadap pergerakan ekonomi kawasan, nasional, bahkan global.
Sumber : http://martha1392.wordpress.com/2013/10/15/perusahaan-yang-melanggar-etika-dalam-berbisnis/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar